Irony

 Aku menatap barisan huruf itu muncul di layar platform obrolan yang sering kugunakan untuk bermain game. Ada barisan huruf yang membentuk namanya muncul cukup lama. 

10 menit.

20 menit.

1 jam kemudian. 

Aku mencoba untuk menghiraukannya, pikirku, nama itu hanya sekedar nama sekarang. Tidak ada hal yang begitu berarti untuk aku coba lakukan dengan deretan huruf itu. Tapi ternyata aku salah, aku menatap nama itu cukup lama. Berkali-kali terdiam setiap kali kulihat nama itu mulai melakukan kegiatan berselancarnya. Seolah menjadi seorang penguntit, aku menatap nama itu lama, berkali-kali. Meyakinkan diriku bahwa nama itu hanya melakukan kegiatannya seperti biasa. Ada sebuah harap yang muncul kerap kali aku menatap nama itu mulai memutar lagu yang Ia putar melalui platform spotify. 

"Apa dia mengingatku dengan lagu ini?" 

Dengan bodohnya aku mencari-cari lirik lagu yang terputar itu. 

"haha, bodoh. Mana mungkin dia ingat aku. "

Aku bergumam pada diriku sendiri. 

Aku termenung lagi cukup lama. Sudah hampir tiga hari dan aku masih saja belum bisa terbiasa dengan perasaan kehilangan ini. Padahal biasanya semuanya tampak sangat baik-baik saja tanpa kehadirannya karena memang selama ini aku sudah dapat melupakan perasaanku padanya. Ternyata, sebuah kenyataan lain mengusikku dan aku mulai merasa cemas. Kehilangan itu sakit, apapun itu jenis kehilangannya. Binatang peliharaan, sahabat terdekat, orangtua, adik atau kakak, bahkan... orang di masa lalu yang seharusnya sudah pergi sejak lama. Ketika mereka akan benar-benar hilang, ada perasaan takut akan sendirian seakan mengusik kepala dan hati sehingga kita jadi sulit untuk melakukan aktivitas kita seperti biasanya. 

Sebuah irony. 

Aku meyakinkan diriku bahwa sudah tidak ada apa-apa lagi di sini, tetapi aku salah. Salah besar. 

Aku hanya ingin terus menatap nama itu dalam diam, menatap nama itu berhenti muncul di platform-platform itu untuk kemudian benar-benar menghilang dari pandanganku. Aku hanya ingin terus mengingat senyuman yang terukir dari wajahnya karena hanya itulah satu-satunya yang bisa aku ingat dengan jelas. Aku pikir, menjadi sebuah masa lalu artinya aku sudah harus menghapus segala tentang dirinya, termasuk akun social medianya. Tapi aku memang seorang pengecut. ironisnya, aku tetap berharap suatu hari kita bisa bertemu kembali sebagai orang asing. 

Akhir-akhir ini kerinduan padanya begitu memuncak. Aku tidak mengerti apa yang terjadi, tetapi yang aku tau pasti, ada kekhawatiran yang tertinggal di sana. Khawatir akan dilupakan, khawatir akan tertinggal, khawatir akan selamanya sendirian sementara dia terus menerus bergerak maju. Ada keinginan yang membuncah untuk dia bisa merasakan sakit yang sama dengan yang aku rasakan, tetapi di sisi lain aku juga ingin dia merasakan kebahagiaan. 

Mungkin, 

Aku hanya tidak rela kalau bahagianya datang bukan dari aku. 

Bodoh bukan? 

Padahal semesta telah menjawab doa-doaku di masa lalu. 

"Jika memang dia yang terbaik, maka dekatkanlah. Tetapi jika bukan, jauhkanlah."

Dan benar saja, semesta menjauhkan dia dariku, tidak hanya hatinya tetapi juga raganya. Harusnya aku sudah puas dengan jawaban dari semesta. Tetapi ironis, aku masih saja bodoh. 

Popular Posts