That 'final' day

Bulan itu, rasanya semuanya seperti mimpi. Afeksinya, semua yang dilakukannya, tak sedikitpun aku curiga dia memaksakan diri. Mungkin saat itu, fokusku hanyalah diriku sendiri tanpa melihat bagaimana dia berjuang untuk menyenangkan orang yang sudah tidak lagi dia sayangi. Aku bahagia. Dia tidak. 

Malam itu, matanya sangat sedih. Melihatku terisak begitu dalam, hatinya hancur. Ia tak bisa menghentikan airmatanya begitupun aku. Pada saat itu, aku hanya merasa akulah yang paling tersakiti. Padahal, untuk dia berkata "besok kita sudah selesai", matanya menatapku dengan sangat sedih. Tangannya terus mengusap punggungku, menenangkan aku yang saat itu panik, menangis sejadi-jadinya. 

Hari terakhir itu telah tiba, cerita yang ada aku di hidupnya, dan ada dia dihidupku sudah selesai. Saat itu, hatiku tidak terima. Ini tidak adil. Apa yang aku lakukan sehingga aku layak ditinggalkan? Pikiran itu terus mengunci logikaku sehingga mataku tak berhenti mengeluarkan airmata. Tak sadar, diujung sana, diapun hancur dan terluka. Tanpa sadar, matanya penuh dengan kesedihan ketika menatapku. Entah karena kasian melihatku menangis atau alasan lain yang tidak dia ungkap padaku. Tapi yang pasti, saat itu yang hancur bukan aku saja tapi juga dia. Entah rasa bersalah atau perasaan lain, tapi matanya yang terus menangis membuat hatiku hancur. Aku banyak menyesali keputusan-keputusanku. Seandainya saat itu aku tidak menunjukkan perasaanku dan tidak memberikan perhatian padanya, mungkin semuanya akan lebih mudah. Karena apa? Aku tidak perlu melihat tangisannya ketika kita sudah selesai.  Takdirnya bukan aku. Sumbu x tidak akan pernah bersatu dengan sumbu y, hanya dapat saling bertemu tapi tidak untuk bersatu. 

Terima kasih sudah berkorban untukku, mencoba menerima kekuranganku walaupun akhirnya kamu menyerah. Tetap berkata bahwa aku cantik, sebuah kata yang tidak pernah kudengar sebelumnya dari orang lain. Terima kasih atas hal-hal menyenangkan yang sudah kita lalui bersama. Aku mengalami banyak 'pertama kali' ketika aku bersamamu dan percayalah, dari sekian banyak 'pertama kali' yang aku sesali, banyak pertama kali yang aku sukai. Aku bahagia. 

Kamu menjadi dirimu sendiri ketika bersamaku, menjadikanku sandaran, menjadikanku satu2nya orang yang kamu andalkan untuk berbagi tentang hal yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Walaupun tidak sedikit juga waktu di mana kita saling menyakiti. Aku menyakitimu, dan kamu juga menyakitiku. Kita sama2 menginginkan sesuatu yang tidak bisa dikabulkan oleh masing2 dari kita dan kitapun menjadi kecewa. Kekecewaan itu menumpuk, mengurangi perasaan sayang yang seharusnya tetap di sana. Aku menyesal, mungkin kamupun sama. Tapi mungkin takdirnya memang harus demikian. 

Terima kasih atas kasih sayangnya. 

Terima kasih atas pengorbanannya. 

Terima kasih sudah bertahan walau akhirnya harus menyerah. 

Terima kasih sudah menjadi diri sendiri ketika bersama. 

Terima kasih sudah menjadikanku rumah untuk pulang. 

Semoga kamu mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik, jauh lebih cepat memahamimu, jauh lebih dapat memenuhi hatimu. Maafkan aku yang tidak bisa menjadi yang terbaik di versimu. Tuhan akan terus memelukmu, sama seperti aku memelukmu ketika kamu lelah. Bahkan Tuhan akan melakukan hal yang lebih lagi untuk kamu. 

Setelah ini, ketika kamu lelah, aku tidak bisa lagi ada di sana untuk memelukmu, untuk menjadi obat lelahmu, untuk menjadi seseorang yg bisa jd sandaran untukmu... ini lah hal yang paling aku sesalkan dari perpisahan ini. Aku tidak lagi bisa menjadi sandaranmu. Ketika nanti kamu lelah, kamu boleh datang padaku. Mungkin hanya untuk sekedar menjadi pendengar atau seseorang yang menepuk pundakmu dan mengusap punggungmu ketika kamu sudah kecewa dengan hidup. Aku selalu di sini. Lelah itu istirahat ya, bukan berhenti. 

Kutitipkan semua perasaanku untukmu pada Tuhan. Agar Tuhan menyampaikannya padamu dalam berkatNya untukmu dan keluargamu. 

Selamat tahun baru 2021. 

Popular Posts